Sebenarnya saya rada males untuk menulis cerita perjalanan ke Dieng versi ini. Soalnya ampun deh baru kali ini datang ke lokasi wisata dan tidak mendapatkan apa-apa. Ini adalah kali kedua saya ke Dieng. Sebelumnya perjalanan ke Dieng cukup lancar karena waktu itu tujuan wisatanya adalah naik ke Gunung Prau di hari yang tidak peak season. Sehingga bonus jalan-jalan di Dieng setelah mendaki, bisa saya dapatkan sempurna.
Baca ini yuk: Menanam Impian di Gunung Prau
Nah, untuk kali kedua ini memang salah banget karena wisata ke Dieng saat liburan anak-anak sekolah. Saya sudah terbayang sih kalau lokasi wisata bakalan penuh. Tetapi tidak menyangka juga kalau sampai macet lantaran banyak kendaraan yang memasuki Dieng.
Namun, demi orang tua dan adik yang penasaran karena belum pernah ke Dieng, akhirnya saya ikut mengantar juga. Meskipun akhirnya keluarga saya hanya mendapatkan rasa penasaran yang terbayarkan tanpa benar-benar menikmati keindahan dan kesejukkan Dieng.
Dieng, Bagi Orang yang Belum Pernah ke Sana
Dalam pandangan orang-orang yang belum pernah menginjakkan kaki ke Dieng, mereka pasti membayangkan bahwa Dieng itu indah, dingin, sejuk, dan hijau. Sebab Dieng itu terkenal dengan negeri di atas awan. Saya juga menganggap seperti itu ketika belum pernah ke sana.
Keluarga saya juga menganggap seperti itu, makanya dibela-belain ke Dieng meskipun saat itu sebenarnya tubuh agak lelah setelah sehari sebelumnya terkena macet di tol Bekasi.
Apalagi saat memasuki daerah Temanggung menuju Wonosobo. Kami disuguhi pemandangan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing nan indah. Bapak saya terutama, makin semangat saja untuk segera tiba di Dieng.
Ketika tiba di pintu masuk dataran tinggi Dieng, tidak terlihat tanda-tanda akan kemacetan. Kami masih positif thinking untuk melanjutkan perjalanan. Baru deh setelah melewati Petak Banteng yang menjadi titik awal pendakian Gunung Prau, kok tiba-tiba menjadi macet. Saya pikir macetnya hanya sebentar, tetapi ternyata macetnya panjang sampai ke atas.
Adik saya masih penasaran dengan Dieng sehingga rela bersabar selama dua jam supaya mobil kami bisa masuk ke kawasan dataran tinggi Dieng.
Nah, sesampainya di sekitar area parkir, kami langsung buru-buru mencari tempat parkir yang available. Lumayan agak lama tuh kami bisa menemukan tempat parkir yang cocok. Dan kamipun memarkir mobil bukan di area resmi, namun tetap ada penjaga parkirnya.
Ya sudah, setelah memarkir mobil, kami langsung turun menuju area wisata yaitu Telaga Warna. Namun sesampainya di sana, kami mengurungkan niat lantaran untuk membeli tiket masuknya saja harus mengantri panjang.
Bapak saya sudah hopeless, rada males kalau harus antri panjang seperti itu. Akhirnya kami mengisi waktu untuk makan bakso saja di sekitar area sambil menunggu karena barangkali antrian tersebut berkurang.
Baksopun habis, namun setelah mengecek lagi ke pintu tiket Telaga Warna, ternyata kondisinya masih penuh juga. Rencana berubah total, karena akhirnya bapak dan adik saya memutuskan untuk tidak masuk ke Telaga Warna. Mereka lebih memilih untuk mengantri ke candi saja.
Tetapi setelah melihat antrian mobil menuju candi masih padat tak bergerak, kami memutuskan lagi untuk tidak ke sana. Daripada nanti sampai di Salatiganya malam, lebih baik kami kembali saja sebab area Dieng semakin sore semakin macet.
Tebak deh, setelah itu kami melakukan apa?
Cuma pergi ke toko grosir penjual carica.
Beli Carica di Dieng, Cari yang Di Pinggir Jalan Aja
Sebelumnya, saya ingin cerita nih. Sewaktu terkena macet menuju kawasan Dieng, ternyata ada toko-toko kecil sekitaran Petak Banteng yang menjual Carica. Nah untuk mengisi waktu, saya mencoba membeli dua paket Carica di toko kecil tersebut tanpa keluar dari mobil.
Harganya cukup murah yaitu Rp. 10.000 untuk isi enam buah cup carica. Rasanya enak, manis, menyegarkan. Saya suka dengan Carica.
Nah, sewaktu kami membeli di toko grosir, harganya jauh berbeda yaitu Rp. 18.000,- per kemasan enam cup. Padahal setelah dicoba, rasanya sama karena merknya juga sama. Tapi entah kenapa kok ya kami membeli cukup banyak juga di toko tersebut.
Kami baru rada sadar mengapa membeli di sana setelah berjalan turun dan mampir lagi ke toko kecil di sekitaran Petak Banteng itu. Harganya masih tetap sama Rp. 10.000,- per kemasan 6 buah. Merknya juga sama dan rasanya juga sama. Ya ampun, baru deh kami menyesal, kenapa tidak membeli di toko ini saja.
Ya sudahlah, nasib sudah menjadi bubur. Jalan-jalannya kurang optimal, beli oleh-olehnya juga ikut-ikutan kurang optimal. Kalau ada yang murah kenapa beli yang mahal kan ya? hahaha.
Satu yang pasti, bapak dan adik saya sudah tidak penasaran lagi dengan Dieng. Cukuplah kata mereka untuk tau saja. Kalaupun mau kembali lagi ke sana masih perlu dipikir-pikir lagi.
Demikian cerita curhat nan gajebo ini. Semoga tetap ada manfaatnya ya.
Monda Siregar
evventure
Adam Muiz
evventure
Nasirullah Sitam
evventure
Rudi Chandra
evventure
narno
evventure
Fanny F Nila
evventure
ursula meta rosarini
evventure
masirwin
evventure
ainun
evventure
Pingback: Jalan-Jalan Singkat ke Salatiga – evventure