Ketika masih berada di Semarang, saya memita kepada orang tua untuk diantar ke Ambarawa. Sejak dulu saya ingin sekali mengunjungi Ambarawa yang terkenal akan sejarahnya itu. Tapi Bapak Mamah sepertinya tidak tertarik karena Ambarawa sudah tidak asing lagi bagi mereka. Namun pada kesempatan kali ini saya berhasil memaksa orang tua serta keluarga untuk mengantarkan saya menuju Ambarawa.
Memangnya ada apa di Ambarawa? Di sana ada jejak sejarah perjuangan yang terekam serta terawat dengan baik di Museum Palagan Ambarawa.
Kami berangkat dari Banyubiru selepas mengunjungi rumah Mbah Sri. Di kanan kiri jalan saya lihat terdapat markas Angkatan Darat lengkap dengan teng tempur yang dipajang di luar halaman. Aroma militer yang kental semakin menguatkan kesan sejarah yang tertinggal di Ambarawa. Setibanya di perempatan lampu merah, saya melihat ada sekelompok seniman menggunakan baju jawa layaknya pertunjukkan petruk dan gareng. Jujur, saya lebih suka cara seperti ini daripada *maaf* meminta-minta langsung tanpa usaha. Cara ini lebih atraktif sekaligus menghibur para pengendara yang terjebak menunggu datangnya lampu hijau.
Mobil kembali berjalan setelah lampu hijau menyala. Tak berapa lama kami tiba juga di Museum Ambarawa. Cuaca saat itu sangat panas, parkiran juga terlihat cukup penuh. Rupanya museum masih diminati sebagai tempat untuk dikunjungi selain wahana wisata lainnya. Kemudian dengan membayar Rp. 5000,- saja, kami sudah bisa masuk untuk merasakan aura perjuangan para pahlawan yang terjadi pada tahun 1945 itu.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Museum Isdiman. Museum ini didirikan untuk mengenang pertempuran yang terjadi di Ambarawa pada saat melawan sekutu. Dalam peristiwa tersebut Letnan Kolonel Isdiman gugur karena terkena peluru sekutu pada saat penerimaan jabatan di SD Tempuran tak jauh dari Kota Ambarawa. Di dalam museum terdapat barang peninggalan para pahlawan mulai dari pakaian hingga senjata pada saat bertempur. Senjata laras panjang maupun senjata berukuran kecil berjejer rapih di dalam ruangan. Semuanya sangat terawat termasuk pakaian para pahlawan. Saya merinding melihat pakaian yang berwarna hijau tua, putih dan abu-abu yang terlihat kusam. Ini adalah pakaian yang digunakan untuk bertempur saat itu, pakaian para pahlawa Ambarawa.
Tempat kedua merupakan inti dari museum ini yaitu sebuah Monumen Palagan Ambarawa yang merupakan simbol untuk mengenang pertempuran di Ambarawa pada tanggal 12-15 Desember 1945. Di monumen tersebut terdapat gambaran singkat tentang sejarah pertempuran berupa relief yang berada pada bagian bawah monumen. Relief tersebut menggambarkan bahwa pasukan TKR yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman berhasil mendesak pasukan sekutu yang sebelumnya telah kalah di Magelang kemudian lari ke Ambarawa. Pasukan TKR berhasil mengalahkan tentara sekutu dengan menggunakan taktik gelar supit urang atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung dan terdesak. Kemudian setelah bertempur selama 4 hari pasukan TKR lalu mendapatkan kemenangannya pada tanggal 15 Desember 1945. Berdasarkan peristiwa tersebut, setiap tanggal 15 Desember kini diperingati sebagai hari infanteri.
Sewaktu mengamati monumen ini, saya ditinggal sendirian karena yang lain lebih tertarik melihat teng tempur serta kendaraan masa lampau. Beruntung kamera berada di tangan kanan untuk memotret segala sudut monumen dan tangan kiri dengan sigap memegang tongsis untuk mengabadikan diri yang sudah jauh-jauh memenuhi harapan untuk mengunjungi tempat bersejarah ini.
Setelah puas mengamati monumen, saya kemudian bergabung dengan suami dan sepupu yang sejak tadi berada pada sebuah kendaraan angkut personil berupa kereta. Berada di sini membuat saya semangat karena terdapat tulisan yang menggugah pada masa itu. Kereta tua itu masih terlihat kokoh, hanya saja tangan-tangan jail masih saja ditemui berupa coretan vandalisme ketika saya memasuki gerbong kereta. Andai di dalam gerbong ini tidak terdapat aksi corat-coret tersebut, muatan sejarahnya akan lebih terasa.
Selepas menikmati masa sejarah pada kendaraan angkut personil, kemudian saya berjalan lagi mengitari peninggalan sejarah lainnya. Di sana terlihat ada teng besar yang masih terlihat kuat berpijak pada tanah. Meriam Anti Tank ini merupakan buatan Inggris dengan Kaliber: 20 cm. Tank ini merupakan saksi bisu sejarah bagaimana gigihnya para pahlawan dalam menghadapi sekutu.
Ada satu lagi peninggalan sejarah yang berhasil diabadikan pada museum ini yaitu adanya pesawat Mustang Belanda. Pesawat Mustang ini merupakan pesawat musuh yang berhasil ditembak jatuh oleh para pejuang ke dalam Rawa Pening. Rawa Pening adalah sebuah daerah yang dekat dengan Ambarawa. Terbayang kan bagaimana perjuangan para pahlawan? Mereka melawan musuh mulai dari darat, laut dan udara hanya untuk Indonesia. Pesawat Mustang ini adalah salah satu saksinya.
Kini saya sudah tidak terlalu penasaran lagi dengan Palagan Ambarawa karena sudah menginjakkan kaki di sana. Sejak dulu saya memang menyukai sejarah baik sejarah perjuangan bangsa maupun sejarah berbau arkeologi. Rasanya mempelajari sejarah membawa kita berpetualang ke masa lampau meskipun hanya dalam bayangan saja. Coba deh berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, teman-teman akan merasakan pengalaman unik menapaki setiap serpihan sejarah yang tertinggal seperti di Palagan Ambarawa ini.
Lusi
evrinasp
rita asmaraningsih
evrinasp
Adi Pradana
evrinasp
Lidya
evrinasp
Inda Chakim
evrinasp
awen
evrinasp
echaimutenan
evrinasp
Tri sulistiyowati
evrinasp
D Sukmana Adi
Pingback: [HIMAPEDIA] Mengenal Kendaraan Pertama Dalam Membela dan Menjaga Kedaulatan NKRI – HIMA FIB UGM