Dapat dikatakan jika trek malam melalui Senaru yang saya alami beberapa waktu yang lalu merupakan trek terberat selama mendaki gunung. Bayangkan, selama kurang lebih 15 jam saya dan teman-teman harus berjalan menyusuri hutan Gunung Rinjani pada waktu malam yang dingin dengan kondisi tidak ada logistik. Semuanya sudah kelelahan tanpa air yang tersisa. Akhirnya setelah melalui perjuangan panjang dengan semangat yang tersisa, kami tiba juga di pintu gerbang pendakian Gunung Rinjani via Senaru sekitar pukul 12.00 WITA. Saya tidak akan pernah melupakan kondisi saat itu, semangat yang melemah, solidaritas yang perlahan menurun dan konflik yang terjadi mewarnai perjalanan turun kami dari Segara Anak menuju Senaru.
Bagi teman-teman yang terlewat untuk membaca kisah sebelumnya, dapat menuju link berikut ini:
Petualangan Rinjani: (1) Jakarta-Sembalun
Petualangan Rinjani: (2) Menuju Pos 3
Petualangan Rinjani: (3) Plawangan Sembalun
Petualangan Rinjani: (4) Summit Attact
Petualangan Rinjani: (5) Segara Anak
Menyusuri Dinding Batu Senaru
Dari Segara Anak, kami harus menyusuri pinggir danau menuju jalur trekking Plawangan Senaru. Jalan di sekitar pinggiran danau sangat indah, membuat kami senang meskipun beban carrier di pundak terasa sama saja, bahkan lebih berat. Carrier milik teman-teman memang terlihat berat karena pagi harinya baru saja berendam di air panas. Baju basah yang mereka bawa cukup menambah beban, padahal berat air juga sudah cukup lumayan untuk dibawa.
Bapak Juhaini mengatakan kalau kami pasti akan sampai di gerbang Senaru paling cepat pukul 10 malam waktu setempat, apalagi kalau jalannya terlalu santai. Dia terihat cemas dan selalu menyemangati kami agar cepat melangkah. Saya kemudian sedikit meragukan apa yang dikatakan oleh Pak Juhaini bahwa mana mungkin kami baru tiba pukul 10 malam di basecamp. Hal ini saya lakukan agar kami optimis dapat menyelesaikan perjalanan sebelum malam terlalu larut. Pak Juhaini hanya mengatakan begini โnanti lihat saja, pasti omongan saya benarโ. Dia pun berjalan lebih dulu mendahului kami.
Akhirnya kami tiba juga di sebuah jalan kecil ke atas menuju dinding berbatu. Jalan ini berupa tanah yang di kelilingi oleh rumput serta hutan cemara. Suasananya cukup asri, namun treknya yang terus menanjak membuat saya dan pendaki lainnya kelelahan sehingga harus beberapa kali beristirahat ketika menemukan tempat yang nyaman. Air menjadi suatu anugerah ketika kami beristirahat. Setelah minum air, rasanya tubuh menjadi segar kembali. Kami tidak boleh terlalu lama beristirahat di sini karena medan sesungguhnya masih belum kami dapati. Saya dan teman-teman kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Danau Segara Anak dari atas SenaruDi tengah perjalanan yang terus naik tanpa ada bonus, saya bertemu dengan seorang pendaki bapak-bapak yang berusia sekitar 35 tahun keatas. Saya melihat dia sudah kepayahan karena membawa carrier dan satu buah tas daypack yang diletakan di atasnya. Carriernya saja sudah terlihat berat, apalagi ditambah dengan daypack. Setelah berbincang sebentar, saya mengetahui kalau dia sebenarnya mendaki bersama kelompoknya yang sudah jalan lebih dulu. Si pendaki itu ternyata membawa istri dan anaknya untuk ikut serta. Saya dan teman-teman pun kagum, namun pendaki tersebut berkata lain. Dia mengatakan bahwa untuk membawa anak mendaki gunung persiapannya harus matang dan tidak boleh sembarangan, jangan sampai si anak merasa terpaksa mengikuti kegiatan orang tuanya. Dia mengatakan anak istrinya sudah diminta berjalan lebih dulu karena kalau menunggunya, maka akan memakan waktu lebih lama.
Kami kemudian meninggalkan bapak tersebut, berharap semoga dia terus kuat sampai ke atas mengingat bebannya terlihat cukup berat. Setelah itu saya dan teman-teman mulai terpisah. Saya dan Ka Yiyi berjalan paling belakang akibat kondisi saya yang mulai kelelahan. Maag mulai terasa kambuh di perut membuat saya semakin melambat ketika berjalan. Tetapi kalau saya begini terus, bisa-bisa perjalanan akan lebih lama lagi dan dapat membuat Pak Juhaini yang menemani kami menjadi khawatir. Akhirnya dengan semangat yang tersisa, saya dan Ka Yiyi sampai juga di sebuah celah berbatu yang menjadi awal perjalanan menyusuri dinding batu Senaru.
Saya lihat di sana ada seorang ibu dan putrinya yang seusia anak sekolah dasar sedang duduk beristirahat. Setelah berbincang sebentar, ternyata ibu dan anak ini adalah keluarga bapak pendaki yang tadi bertemu di bawah. Dia menanyakan apakah suaminya masih jauh dari lokasi kami berada. Seingat saya masih jauh, bahkan hingga kami beristirahat di beberapa titik tadi, kami belum berpapasan lagi. Ibu itu terlihat mengelus dada dan menanyakan kepada siapapun yang lewat untuk meminta jasanya sebagai porter yang dapat menggendong sang putri hingga basecamp. Rupanya putri si ibu sudah bosan dan tidak mau berjalan, si Ibu terlihat sudah kepayahan juga. Alhamdulillah ada yang bersedia menjadi porter yang sebenarnya dia juga pendaki pembawa rombongan, paling tidak kekhawatiran si ibu berkurang akan kondisi sang anak. Sekarang dia menunggu suaminya sementara sang anak dibawa oleh porter yang tadi bersedia menawarkan jasanya.
Saya dan Kak Yiyi kemudian berjalan lagi menuju bongkahan batu cukup besar di jalan yang melandai. Kami melihat di sana teman-teman sedang beristirahat sambil menunggu kami. Pak Juhaini sepertinya mengerti kalau saya sudah tidak terlalu bertenaga. Dia mengeluarkan pisang tanduk yang masih ada untuk saya makan. Bintar yang memang sigap urusan medis, kemudian memberikan saya obat maag untuk mengurangi nyeri. Pak Juhaini kemudian berkata, lebih baik carriernya dia yang bawa untuk mempercepat langkah, karena kalau saya masih seperti itu maka sampai di gerbang akan sangat malam. Akhirnya saya dengan senang hari menyambut baik usul Pak Juhaini. Beban di pundak saya sudah berkurang, kemudian saya langsung berjalan lebih dulu bersama Pak Juhaini meskipun teman-teman masih beristirahat di bebatuan.
Saya lupa berapa waktu yang dibutuhkan untuk melewati tebing berbatu Senaru ini. Perjalanan melalui tebing Senaru seingat saya cukup lama berkat trek yang panjang. Kadang mendan yang harus kami lalui merupakan medan yang landai, kadang harus naik sambil menggunakan kedua tanggan dan kaki seolah climbing. Tetapi satu yang pasti, jika melewati trek berbatu Senaru, kita harus sangat konsentrasi dan berhati-hati. Karena apabila lengah, bisa saja nyawa terengut di medan ini. Menurut cerita Pak Juhaini beberapa waktu yang lalu ada pendaki yang tewas lantaran jatuh di tebing Senaru. Hal itu wajar saja karena kalau kita jatuh, organ tubuh dapat cedera terkena kerasnya bebatuan. Maka ketika melalui jalan ini perhatikan konsentrasi, air harus tetap tersedia jangan sampai kekurangan dan usahakan tetap bersama dengan kelompoknya.
Akhirnya setelah berjalan cukup lama di medan berbatu yang landai dan cenderung naik, saya dan Om Wilson yang waktu itu tertinggal paling belakang sampai juga di celah Plawangan Senaru. Plawangan Sebaru merupakan tempat para pendaki untuk mendirikan tenda sebelum turun ke Segara Anak dan summit ke puncak Rinjani. Sama seperti Plawangan Sembalun, areanya tidak terlalu luas dan berada di kaldera Rinjani.
Plawangan Senaru
Saya dan Om Wilson segera berteriak mencari teman-teman yang sudah lebih dulu sampai di Plawangan Senaru. Rupanya mereka ada di dekat batu yang mengarah pada jalan menurun menuju hutan Senaru. Di sana, Pak Juhaini dan Anin sedang membuka nanas yang tersisa. Saya dan Om Wilson segera bergabung dan menikmati nanas sambil melihat trek panjang yang harus kami lalui.
Di sini, kami sudah tidak ada semangat lagi untuk mengabadikan moment. Terlebih Pak Juhaini, dia mengatakan agar kami tidak boleh terlalu lama mengingat waktu sudah sangat sore. Pak Juhaini mengatakan agar kami cepat melangkah menuju Pos 3 sebelum nanti memasuki hutan Senaru. Di Pos 3 kami akan memasak makan siang sekaligus mnghabiskan logistik untuk meringankan beban.
Di sini, saya memanfaatkan waktu untuk mengganti kaos luar yang sudah basah. Bahaya sekali jika pakaian yang digunakan basah sementara kita harus melalui trek malam. Teman-teman juga melakukan hal yang sama, mengganti kaos yang basah akibat keringat. Setelah itu kami segera melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Seingat saya waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 14.00 WITA, artinya sore sudah semakin dekat.
Dari Plawangan Senaru, kami harus melalui medan yang terus turun. Masalahnya, trek yang harus kami lalui ini berupa tanah berpasir yang apabila kalau kita tidak hati-hati maka bisa terpeleset. Itu bahaya sekali karena kanan dan kiri merupakan jurang dari punggung Rinjani.
Akhirnya setelah melalui jalan yang licin berpasir, kami sampai juga di Pos 3. Di sana banyak teman-teman pendaki beristirahat, sementara Pak Juhaini dan Anin sedang memasak logistic yang tersisa. Sambil menunggu masakan matang, kami melakukan kewajiban terlebih dulu sebagai muslim sekaligus berdoa agar perjalanan turun nanti dimudahkan dan mendapatkan lindungan-Nya.
Di Pos 3, logistik teman-teman sudah habis termasuk air yang merupakan kebutuhan vital. Saya masih memiliki air namun besarnya hanya sebanyak 500 ml yang tentu tidak cukup jika digunakan sampai ke bawah. Om Wilson adalah orang yang paling membutuhkan air, tetapi airnya sudah habis. Bintar juga terlihat kehausan sampai memakan mentimun agar ada air yang masuk ke dalam tubuh. Beruntung pak Juhaini masih memiliki stok air yang digunakan untuk membuat teh manis panas. Tetapi itu adalah air terakhir yang ada saat itu. Jadi, kami harus memberikan sugesti kepada diri sendiri agar dapat kuat melalui hutan Senaru tanpa air.
Setelah semuanya siap, perut sudah terisi, semangat sudah mengalir kembali, kami mulai memasuki hutan Senaru yang rimbun dan memberikan nuansa gelap pada medan yang harus kami lalui saat itu.
Hutan Senaru
Di planning awal yang sudah kami plotkan sejak masih di Jakarta, rencananya kami ingin mengunjungi Air Terjun Sendang Gile. Menurut website Taman Nasional Gunung Rinjani, area di air terjun ini memberikan suguhan panorama alam yang indah di kawasan Desa Senaru. Sayangnya, karena kami sudah kemalaman maka kami mengurungkan niat tersebut. Bahkan yang ada dipikiran kami saat itu adalah bagaimana caranya sampai di gerbang Senaru dengan amat dan tidak larut malam mengingat logistik sudah tidak ada sementara tenaga juga sudah melemah.
Di jalur Senaru, kami harus melalui hutan lebat yang terdiri dari pohon-pohon besar. Sama seperti gunung lainnya, kita tidak boleh bicara sembarangan ketika melalui hutan, apalagi pada saat trek malam. Nah, seperti halnya trek Sembalun, trek Senaru juga memiliki 3 pos utama yang diselingi oleh beberapa pos bayangan. Sayangnya tidak seperti pos di Sembalun, tidak ada keriuhan para pendaki di pos-pos ini, yang ada hanyalah kesunyian dan kegelapan.
Setelah melalui jalan yang terus menurun, kami akhirnya tiba juga di pos 2. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama. Suasana sangat sepi, kami juga sudah mulai mengalami konflik. Ada yang ingin cepat sampai, namun ada juga yang ingin beristirahat karena tidak kuat. Pak Juhaini juga mengatakan kalau dia masih belum tenang jika masih belum sampai di pintu gerbang. Akhirnya dengan sisa semangat yang ada dan setelah berargumentasi disana-sini, kami langsung melanjutkan perjalanan lagi.
Kami mendapatkan dua orang teman ketika di pos 2, mereka adalah dua orang pendaki perempuan yang ditinggal oleh rombongannya. Kasian sekali, padahal mereka perempuan dan tidak ada logistic tetapi kenapa ditinggal oleh rombongannya. Beruntung mereka bertemu kami sehingga bisa bersama sampai di gerbang.
Saya tidak perlu menceritakan bagaimana kondisi kami saat itu, yang jelas konflik sudah mulai terjadi meski dapat diredam. Walaupun konflik terjadi, kami semua sadar bahwa hal itu terjadi akibat kondisi yang sama-sama kelelahan. Dan gerbang yang ditunggu ada di depan mata, seorang pendaki yang paling dekat menyambut kami dengan mengatakan โselamat datang di Senaruโ.
Kami langsung mengambil air minum dan segera bersender di atas bangku yang terbuat dari bambu. Malam itu menjadi saksi perjuangan kami melintasi hutan Senaru dari Segara Anak. Pukul 12.00 WITA menandakan waktu kedatangan kami, semua bersyukur telah keluar dari lingkaran hutan yang gelap. Selanjutnya kami harus melangkah menuju basecamp untuk pulang ke Lombok keesokan harinya. Jalur Senaru tidak akan saya lupakan, dan cukup sekali itu saja untuk dirasakan.
Petualangan saya dan teman-teman masih berlanjut selama di Lombok. Tetapi tidak lagi mendaki gunung, melainkan menyusuri pantai indah yang ada di sekitar Lombok.
andyhardiyanti
evrinasp
rita asmaraningsih
evrinasp
TS
evrinasp
Ria Rochma
evrinasp
inayah
evrinasp
Awan
evrinasp
arihanda
evrinasp
Riks
evrinasp
Anjar Sundari
evrinasp
Lusi
evrinasp
Khoirur Rohmah
evrinasp
Cara Bikin Tenda
evventure
Adipradana
evventure
Dandy Siswandy
evventure
Pingback: Ketika Pendaki Membutuhkan Suplemen Asam Lambung Colidan
Pingback: Ingin Berlibur ke Cirebon? Tempat di Bawah ini Bukan Hanya Hits, tapi Memiliki Ceritanya Sendiri! - evventure