Sebenarnya ini judulnya dibuang sayang karena sudah terjadi satu bulan yang lalu tepatnya ketika saya ke Palembang kemarin. Terus tadinya foto jembatan Ampera mau diikutkan untuk lomba foto tapi ‘gak pede. Jadi daripada tersimpan begitu saja mending dituliskan ya.
Saya beruntung banget waktu ke Palembang kemarin berangkat sama Bu Nunik. Bu Nunik itu keibuan dan mengerti maunya anak yang belum sering bepergian seperti saya. Meskipun cape, si Ibu masih mau mengantar saya untuk jalan-jalan ke Jembatan Ampera yang ada di Kota Palembang. Saya takjub lho karena saya pikir kota Palembang itu tidak terlalu besar. Tetapi ternyata luas ya, dan banyak hal yang bisa menjadi objek untuk difoto, salah satunya icon kota yang terkenal dengan empek-empeknya ini yaitu Jembatan Ampera.
Selama tiga hari, saya wara-wiri melewati Jembatan Ampera ini. Hanya saja belum sempat untuk turun dan menikmati keindahannya. Akhirnya sehari sebelum pulang, saya, Bu Nunik dan satu orang teman yang belum pernah ke sana juga menyempatkan diri untuk ke Jembatan Ampera.
Kami sengaja berangkat malam hari dengan menggunakan taksi karena katanya jembatan ini akan lebih indah apabila di foto pada malam hari. Abang taksi mengatakan supaya kami mengambil posisi di dekat Benteng Kuto Besak saja karena lebih ramai. Wah benar lho, lampu jembatan yang memiliki panjang hingga lebih dari 1000 meter ini menyala dan membuatnya tampak berkilau indah. Warna pink keunguan tampak menghiasi jembatan sepanjang jalan.
Suasana menuju jembatan saat itu sangat ramai dipenuhi pengunjung yang kebanyakan warga local. Di sini mereka menghabiskan waktu bercengkerama bersama keluarga, bermain layangan, menyewa permainan, kulineran hingga berdua-duan *uhuyyy*. Saya dan teman saya kemudian mulai mengabadikan keindahan di sekitar Jembatan Ampera sementera Bu Nunik hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kenarsisan kami.
Kami saling bergantian menggunakan kamera, maklum teman saya tidak membawa kamera sendiri karena katanya tidak terlalu hobi untuk narsis. Berbeda dengan saya yang senang foto-foto dan ingin selfie segera hehe. Sayang deh kamera depan tidak didukung cahaya sehingga membuat saya mengurungkan niat untuk berselfie ria. Andai saja saya membawa sebuah lampu selfie untuk foto di sana-sini, sepertinya saya bisa langsung upload foto saat itu juga biar kekinian gitu *maklum narsis*.
Suasana di sekitar jembatan menurut saya agak syahdu meskipun ramai. Itu karena angin yang bertiup dari Sungai Musi seperti angin dari pantai. Saya betah berlama-lama di sana termasuk teman saya dan Bu Nunik. Tapi karena waktu semakin malam, akhirnya kami segera beranjak meninggalkan lokasi.
Dari situ kami berniat untuk mampir ke Benteng Kuto Besak. Kami pikir benteng tersebut masih buka setelah melihat pintu gerbang benteng yang terbuka. Tetapi setelah ke dalam ternyata itu bukan merupakan museum yang dituju, tetapi merupakan kantor Kodim. Kami mengetahui itu setelah Bapak tentara yang sedang menyaksikan pertandingan bola bersama-sama rekannya member tau kami. Yah tidak apa-apa deh yang penting sudah sampai di depannya.
Kami kemudian berjalan menyusuri pasar malam yang ada di sekitar benteng. Di sana, saya dan Bu Nunik sibuk memilih kaos bertuliskan Palembang sebagai oleh-oleh. Harga kaos itu berapa ya? Saya agak lupa, sekitar Rp. 30.000,- saja dan ternyata yang jualan itu bukan orang Palembang, merupakan abang-abang dari Jakarta *hadeuhhh*.
Setelah membeli kaos yang diminati kami kemudian mencari taksi untuk kembali pulang menuju penginapan. Tetapi setelah berjalan melewati minimarket, taksi tak juga ada. Kami bertiga kemudian berhenti sejenak dengan harapan taksi akan lewat di sekitar kami. Sambil menunggu, saya dan teman saya kemudian mengabadikan diri lagi deh, sementara Bu Nunik duduk pada suatu space tak jauh dari lokasi kami.
Rupanya setelah ditunggu agak lama, taksi tak juga muncul. Tau ‘gak kenapa taksi ‘gak muncul-muncul? Soalnya kami nunggunya di tempat parkiran, itu ternyata bukan jalan umum, pantas saja ‘gak ada taksi yang lewat. Setelah diberi tau oleh seorang warga kami baru tau kalau taksinya ada di depan jalan yang lebih besar dan untuk menuju ke sana kami harus jalan lagi ke depan menuju jalan besar. Benar saja di sana ada taksi yang menunggu. Kami bertiga hanya tertawa saja karena memang sudah lelah.
Perjalanan kami malam itu ditutup dengan sebuah nasi goreng pedas yang ada di depan penginapan. Ternyata si mbak pedangang berasal dari Brebes. Lah mbak jauh amat sampai ke Palembang? Sama, mbaknya juga dari Bogor kok jauh amat ke Palembang? *yah malah dia balik nanya*. Saya jadi kagen Palembang, terutama empek-empeknya itu. Semoga suatu hari bisa ke sana lagi. Aamiin.
muhammad mukhlis
evrinasp
muhammad mukhlis
evrinasp
Hidayah Sulistyowati
evrinasp
Budi Mulyono
evrinasp
Dian Eato
evrinasp
Ayunovanti
evrinasp
ruli retno
evrinasp
Tri sulistiyowati
evrinasp
uwien
evrinasp
dani
evrinasp
Astin Astanti
evrinasp
fanny fristhika nila
evrinasp
Rohmah Azza
evrinasp
Anggarani Ahliah Citra
evrinasp
selvy
evrinasp
ratusya
evrinasp
Diarysivika
evrinasp
Hastira
evrinasp
turiscantik
evrinasp
Dzulkhulaifah
evrinasp
Harry
evrinasp