Setelah seharian menikmati Pulau Weh dan Kota Sabang, keesokan harinya saya dan teman-teman kembali menuju daratan Aceh dengan menggunakan kapal menyebrangi lautan. Kami harus berangkat lebih cepat karena kapal pertama ada di pukul 8 pagi waktu setempat. Jika ketinggalan bisa bahaya karena kapal baru ada lagi pukul 14.30 menyebrangi lautan dari Pelabuhan Balohan menuju Pelabuhan Ulee Lheue. Syukur alhamdulillah, semua berjalan lancar kami tidak ketinggalan, malah agak menunggu sekian menit sampai kapal benar-benar berjalan.
Entah mungkin karena kelelahan atau suasana kapal yang sejuk membuat mata saya mengantuk. Daripada mengambil gambar seperti yang biasa dilakukan, saya malah memilih untuk memejamkan mata saja dengan tujuan agar dapat menghemat tenaga. Tetapi rasa kantuk mulai menghilang ketika teman-teman memanggil saya untuk berada di anjungan kapal guna menikmati segarnya udara laut di pagi hari.
Saya jadi teringat moment saat saya berada di Ternate ketika menyaksikan kapal membelah air laut. Suasananya hampir sama, sejuk, menyegarkan, dengan pemandangan indah perbukitan dari arah laut. Terlihat beberapa orang di belakang kami sedang berbincang sambil mengeluarkan kami untuk mengabadikan moment yang ada. Begitu juga dengan kami yang ikut berfoto di atas kapal, di tengah laut. Kapan lagi bisa begini kan?.
Baca ini yuk: Laskar Gerhana detikcom: Gerhana Matahari Total
Namun, tak berapa lama Pelabuhan Ulee Lheue terlihat di depan mata. Kapal kami mulai mengurangi laju kecepatannya hingga akhirnya berhasil mendarat di sana. Kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan kembali karena masih ada beberapa destinasi yang harus dikunjungi sebelum pulang ke tanah Jawa.
Baca ini juga ya: Satu Hari di Pulau Weh
Baca ini juga boleh: Akhirnya ke Sabang Juga
Wisata Religi di Masjid Baiturrahim
Dari Pelabuhan Ulee Lheue, kami diajak untuk mengunjungi sebuah masjid bersejarah yang letaknya dekat dengan pelabuhan. Masjid tersebut adalah Masjid Baiturrahim di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Masjid tersebut merupakan Zero Point Tsunami Aceh dan apabila hendak masuk ke dalam lingkungan masjid, semua pengunjung wajib menggunakan busana muslim.
Dari beberapa literatur yang saya baca, masjid ini merupakan masjid peninggalan kesultanan Aceh di abad ke-17. Dari penjelasan penjaga, saya tau bahwa masjid ini adalah salah satu masjid yang selamat dari terjangan tsunami sementara bangunan di sekitarnya luluh lantah rata dengan tanah. Subhanallah ya.
Penjaga masjid mengatakan kalau kerusakan pasca tsunami tidak terlalu banyak. Ada beberapa bagian yang memang sengaja dibiarkan agar tetap ingat akan bencana tsunami yang pernah melanda. Sepintas bangunan masjid ini lerlihat bangunan lama, hanya saja masih tetap berdiri kokoh hingga saat ini.
Situs Tsunami PLTD Apung
Dari Masjid Baiturrahim, kami melanjutkan kembali perjalanan untuk menelusuri jejak tsunami di Aceh. Tujuan kami kali ini adalah Situs Tsunami PLTD Apung. Situs ini bersejarah sekali lho karena benar-benar menggambarkan bagaimana dasyatnya tsunami tahun 2004 lalu di Aceh. Soalnya kapal PLTD Apung yang memiliki bobot seberat 2600 ton ini dapat terhempas hingga 5 kilometer ke arah daratan dan berakhir di Punge Blang Cut yang merupakan perkampungan.
Berdasarkan informasi yang terdapat pada poster di dalam kapal disebutkan bahwa pada tanggal 26 Desember 2004 lalu kapal PLTD Apung sedang berlabuh di Pelabuhan Ulee Lheue saat gempa bumi berkekuatan 9 skala Richer terjadi. Sekitar 10 menit dari gempa, tiba-tiba air laut surut sejauh 1 km dari arah pantai yang membuat kapal menjadi miring ke arah pantai. Awak kapal yang beranggotakan 12 orang kemudian menyelamatkan diri turun dari kapal ke arah daratan. Selang 5 menit kemudian air laut naik dan menghanyutkan kapal ke arah daratan ke tempatnya saat ini berada.
Oleh pemerintah, kapal ini akhirnya tidak ditarik kembali ke laut setelah terdampar di Ponge Blang Cut sebagai peringatan akan dasyatnya tsunami. Kapal kemudian dijadikan situs yang dapat dikunjungi oleh para wisatawan sekaligus sebagai sarana edukasi. Hanya saja, mesin asli kapal ini sudah diambil dan hanya menyisakan bodynya saja.
Saat saya memasuki area situs ini, saya tidak terlalu banyak berkata. Berfoto selfie seperti di objek wisata lain pun tidak saya lakukan karena terasa sekali aura religinya. Tanpa diberitaukan seperti apa dasyatnya tsunami saat itu sudah tergambar jelas dari monument tsunami yang ada di pelataran serta kondisi kapal yang terdiam di dalam area situs.
Museum Tsunami Aceh
Ini adalah salah satu destinasi yang ingin saya kunjungi ketika berada di Aceh. Sudah lama sekali saya ingin pergi ke museum ini karena pasti banyak peninggalan sejarah terkait tsunami yang terjadi pada tahun 2004 lalu.
Bangunan Museum Tsunami Aceh ini berwarna cokelat dengan perpaduan warna kream yang begitu teduh. Menurut Kang Ali, arsitek museum bergaya modern minimalis ini adalah Bapak Ridwan Kamil yang saat tulisan ini tayang masih berstatus sebagai Walikota Bandung. Pantas saja ya terlihat modern dengan detail yang jelas. Harga masuk ke museum ini cukup murah yaitu sebesar Rp. 3000 untuk orang dewasa, kemudian Rp. 2000 untuk anak-anak, dan Rp. 10.000 untuk wisatawan asing.
Dari pintu masuk, kami memasuki sebuah Lorong Tsunami yang menggambarkan suasana pada minggu pagi di tanggal 26 Desember 2004. Lorong tersebut memiliki suasana yang cukup gelap, lembab, dan membuat pengunjung terasa ikut merasakan suasana tsunami berkat suara tahlil yang diperdengarkan.
Dari arah lorong, kita akan memasuki ruangan dengan banyak sekali panel-panel monitor berisi gambaran tsunami. Suasana ruangan tersebut masih cukup gelap dan di kelilingi oleh dinding kaca.
Masih di area bawah, kami kemudian masuk ke sebuah sumur doa berisi nama-nama korban tsunami yang terpahat di dinding ruangan berbentuk bundar tersebut. Nama tersebut terpahat di dinding hingga ke atas dengan ujung asma Allah di langit-langit. Kami cukup lama terdiam di ruangan tersebut tanpa banyak berkata-kata. Biarlah suasana yang menceritakan bagaimana suasana hati kami saat itu.
Dari arah sumur doa, kami melanjutkan eksploring museum ke arah ruangan-ruangan yang lebih mengarahkan pengunjung ke pada edukasi. Terlihat di atas langit dalam ruangan berbentuk jembatan terdapat bendera beberapa negara yang turut membantu Aceh hingga bangkit seperti saat ini dari kesedihan bencana tsunami.
Ada apa saja di dalam ruangan edukasi tersebut? saya jelaskan dalam bentuk gambar saja ya.
Masjid Baiturrahman, Serambi Mekah
Wisata religi di Aceh kami lanjutkan dengan mengunjungi Masjid Baiturrahman yang terkenal sebagai serambi Mekkah di Aceh. Sudah lama sekali saya memimpikan untuk pergi ke masjid ini sebelum nanti akhirnya saya benar-benar bisa berangkat ke Mekkah.
Di sini saya dan teman-teman menunaikan ibadah shalat karena saat kami datang bertepatan dengan datangnya waktu shalat. Suasana masjid saat itu cukup panas, namun tidak mengurangi antusias para Jemaah untuk beribadah.
Dari tempat berwudhu yang ada di bawah lantai, saya harus berjalan menyebrangi pelataran tempat payung-payung peneduh berada. Jaraknya cukup jauh ya, sehingga saya harus bergegas agar tidak ketinggalan shalat berjamaah.
Oh iya, ketika berada di masjid ini wajib menggunakan busana muslim. Bagi kaum wanita ada baiknya menggunakan pakaian panjang atau menggunakan rok. Soalnya saya salah kostum, saya menggunakan celana panjang ketika berada di sana sehingga mbak penjaga mengatakan kalau saya sebaiknya menggunakan bawahan mukena ketika berada di sana.
Setelah shalat, saya dan teman-teman mengabadikan moment di sana sebelum akhirnya bertemu dengan teman-teman blogger di Aceh. Senang sekali bisa bertemu dengan teman yang selama ini hanya dijumpai di dunia maya saja.
Sebagai penutup wisata religi kami saat itu, sebelum ke Masjid Baiturrahman kami menikmati makan siang di sebuah restoran yang menyajikan kuliner khas Aceh. Masakan Aceh sangat nikmat, saya sampai bingung memakannya karena menurut saya enak semua.
Demikianlah rangkaian perjalanan saya bersama teman-teman mulai dari Pulau Weh hingga wisata religi di Aceh. Perjalanan saya ini didukung oleh Cheria Halal Holiday yang memberikan akomodasi lengkap saat saya berada di sana. Sampai jumpa lagi pada petualangan berikutnya.
Donna Imelda
evventure
Lena Viyantimala
evventure
Anggara W. Prasetya
evventure
Hendra Suhendra
evventure