Hallo, assalamualaikum. Sudah lama banget blog ini lumutan karena si pemilik blog alias saya sendiri sedang sok sibuk banget. Alhamdulillah di penghujung bulan Mei 2019 dapat menyempatkan waktu untuk update blog jalan-jalan ini. Siapa tau pas libur lebaran atau libur panjang lainnya ada yang mau jalan-jalan ke Garut, Jawa Barat.
Di Garut ada objek wisata budaya menarik yaitu di Kampung Pulo yang memiliki aturan ketat plus candi etnik di tengah hamparan hijau pepohonan. Asiknya lagi, untuk menuju kampung tersebut, wisatawan harus naik rakit. Kemudian di rakit itu juga, kita bisa menikmati nasi liwet khas Kampung Pulo.
Tetapi tahan dulu ya, saya mau cerita dulu perjalanan menuju ke sananya.
Baca ini yuk: Pendakian Gunung Guntur
Bermula dari Studi Banding ke Desa Girijaya
Garut bagi saya adalah tempat yang istimewa. Selain pemandangan alamnya yang sejuk, di kabupaten tersebut masih lekat sekali gotong-royong masyarakatnya. Paling tidak itu yang saya lihat saat mengunjungi LKM Sauyunan di Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah.
Ada pelajaran yang saya petik ketika mengunjungi desa tersebut, yaitu para ibu memang cocok sebagai figur yang dipercaya mengelola keuangan. Soalnya LKM Sauyunan didominasi oleh para ibu dalam mengelola dana hibah yang besarnya saat saya mengunjungi desa tersebut mencapai 1 Milyar. Mantab kan?.
Dan kerennya lagi, dana tersebut dipakai untuk membantu perekonomian desa. Hampir saya katakan perekonomian desa tidak bocor karena letaknya desa tersebut cukup jauh dari akses jalan raya. Jadi, perputaran roda perekonomian ada di desa tersebut. Paling, komoditas hasil pertanian saja yang keluar dari desa itu pun hanya beberapa.
Oke, kita tinggalkan Desa Girijaya. Selanjutnya saya bersama rombongan istirahat sejenak di Bukit Alamanda yang memang cukup terkenal di Garut.
Menginap di Bukit Alamanda
Bukit Alamanda, Garut merupakan sebuah resort yang cocok untuk menghabiskan masa liburan bersama keluarga. Asiknya menginap di Bukit Alamanda adalah tempat ini sejuk banget karena dikelilingi oleh pohon pinus.
Fasilitasnya juga cukup lengkap ala budaya sunda, ada gajebonya, ada kolam renang, ada fasilitas bermain untuk anak-anak, restoran, ruang meeting, dan lainnya.
Sayangnya saya tidak terlalu banyak mengeksplore Bukit Alamanda ini, sebab saat saya tiba di sana sudah malam dan keesokan harinya sudah mulai beraktivitas kembali. Tetapi cukup memberikan gambaran bahwa Bukit Alamanda ini sejuk sehingga asik untuk dijadikan destinasi berlibur bersama keluarga.
Wisata Budaya ke Kampung Pulo dan Candi Cangkuang
Nah ini yang dinanti. Sebelum kembali ke Bogor, kami menyempatkan untuk mampir ke Kampung Pulo dan Candi Cangkuang untuk berwisata alam dan budaya. Tempat wisata ini terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.
Untuk masuk ke tempat tersebut, pengunjung harus menaiki rakit dengan membayar tiket yang cukup terjangkau yaitu: Dewasa Rp. 5000,- per orang dan Anak-anak Rp. 3000,- per orang. Waktu pelayanan untuk ke tempat wisata tersebut adalah pukul 07.00-17.00 WIB.
Ikuti arahan dari petugas ketika hendak naik rakit, sebab jumlah penumpangnya terbatas. Bahaya kan kalau kelebihan muatan, nanti malah tenggelam. Naudzubillah.
Mengapa harus naik rakit untuk pergi ke Kampung Pulo dan Candi Cangkuang? Sebab, kampung tersebut memang istimewa, jauh dari jangkauan penduduk luar karena memiliki aturan tersendiri. Kampung itu sepertinya di kelilingi oleh danau ya, sehingga populasinya terbatas, CMIIW.
Sesampainya di daratan Kampung Pulo Desa Cangkuang, saya melihat papan yang bertuliskan tentang larangan adat masyarakat Kampung Pulo yang isinya begini:
- Tidak boleh berziarah pada hari rabu
Masyarakat adat Kampung Pulo selalu menggunakan hari Rabu untuk pengajian dan memperdalam ilmu keagamaan, sehingga tidak diperbolehkan melakukan kegiatan lainnya termasuk berziarah ke Makam Embah dalem Arief Muhammad.
- Tidak boleh memukul atau menabuh gong besar dari perunggu
Hal ini berkaitan dengan kisah Embah Dalem Arief Muhammad yang memiliki seorang anak laki-laki tetapi meninggal dunia saat akan dikhitan. Waktu anak tersebut di arak dengan tandu berbentuk prisma diiringi gamelan yang menggunakan gong besar, tiba-tiba datang angin topan yang menyebabkan anak itu celaka dan meninggal dunia.
- Tidak boleh membuat rumah beratap prisma/jure, selamanya harus memanjang
Hal ini berkaitan dengan kisah anak laki-laki Embah Dalem Arief Muhammad yang celaka dan meninggal saat diarak menggunakan tandu berbentuk prisma.
- Tidak boleh menambah, mengurangi bangunan pokok dan kepala keluarga
Hal tersebut bermula dari kisah Embah Dalem Arief Muhammad, cikal bakal Kampung Pulo yang memiliki enam orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Enam anak perempuan dilambangkan dengan enam rumah, dan satu anak laki-laki dilambangkan dengan satu masjid. Di setiap rumah wajib dihuni oleh satu kepala kelurga.
- Tidak boleh memelihara hewan ternak berkaki empat
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kebersihan halaman rumah dan keutuhan tanaman dari gangguan binatang berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi, dan lain-lain.
Kalau tidak salah, ada teman yang bertanya kepada pemandu wisata di Kampung Pulo begini: “kalau nanti keluarganya punya anak, terus menikah berarti kepala keluarganya kan bertambah. Itu bagaimana, apakah tetap tinggal di Kampung Pulo atau keluar?”
Jawaban sang pemandu waktu itu kalau saya tidak salah ingat adalah kepala keluarga yang berlebih tersebut harus keluar dari kampung karena memang kampung tersebut hanya boleh diisi oleh enam kepala keluarga saja, tidak boleh bertambah.
Saya jadi terbayang bagaimana hari-harinya mereka, sepi banget deh rasanya kalau hanya enam kepala keluarga. Tetapi namanya juga adat istiadat, kalau meyakini ya harus diikuti.
Dari arah Kampung Pulo, saya dan rombongan beranjak ke arah Candi Cangkuang. Untuk masuk ke area candi tersebut, wisatawan harus membayar tiket lagi sebesar: untuk dewasa Rp. 5000,- per orang dan untuk anak-anak Rp. 3000,- per orang.
Saya pikir Cangkuang itu adalah nama tempat, ternyata bukan lho. Cangkuang adalan nama tanaman dengan bahasa latin Pandanus furcatus. Cangkuang bermanfaat untuk:
- Bahan membuat tikar
- Pembungkus gula aren
- Pembungkus ketupat
- Daun puncak untuk obat pencahar
- Tunas dapat digunakan untuk obat batuk
- Sari daun dapat digunakan untuk obat diare dan disentri
- Buah muda dapat digunakan sebagai pencahar
- Buah yang masak bersifat anti oksidan
Sebelum melihat bagaimana bentuk Candi Cangkuang, wisatawan dikumpulkan dulu di semacam pendopo yang merupakan museum situs candi tersebut. Di sana, wisatawan mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari petugas Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. Setelah itu, baru deh wisatawan dapat menikmati area Candi Cangkuang.
Di area candi, ternyata terdapat makam sang pendiri Kampung Pulo yaitu Eyang Embah Dalem Arief Muhammad. Kami hanya bisa melihat makam dari luar karena di sekeliling makam terjaga oleh pagar besi.
Candi Cangkuang terletak di sampung makam eyang. Bentuknya seperti candi yang ada di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Meskipun bentuknya kecil dan hanya berjumlah satu buah saja, candi ini cukup menggambarkan bagaimana penyebaran budaya di Indonesia.
Puas menikmati candi, kami diarahkan kembali menuju rakit untuk kembali pulang. Ternyata ada kejutan istimewa di sana. Para wisatawan dipersilahkan untuk menikmati nasi liwet yang sudah dijajarkan di bangku rakit. Wah nikmat sekali deh, sambil menyebrang, sambil makan nasi liwet juga. Alhamdulillah.
Demikian cerita singkat sewaktu liburan plus menimba ilmu di Garut, Jawa Barat. Nanti kalau ada rezeki lagi, saya ingin kembali mengeksplore area Garut sebab masih banyak destinasi wisata lainnya yang menarik di Garut.
Himawan Sant
evventure
ursula meta rosarini
evventure
D Sukmana Adi
evventure