Sehari Bersama Jakarta Corners: (2) Masjid Seribu Pintu-Grand Zuri BSD

Sampai dimana saya cerita ya? Eh sampai makan siang di Zuri Express ding. Buat teman-teman yang ketinggalan info, klik tulisan saya sebelumnya yak biar nyambung menjadi satu, itulah Indonesia *lah?!^%#2@*. Setelah ishoma, kami diantar Bapak Arif sang manager Hotel Zuri Express yang cakep bin ganteng banget itu untuk mengelilingi hotel. Tur hotelnya hanya sebentar karena kami harus bergegas menuju Tangerang mengingat, menimbang dan memutuskan waktu semakin berjalan alias sudah sore. Mau kemana kita? Kalau sebelum ishoma tadi kita wisata sejarah berbau colonial, kini saatnya wisata sejarah beraromakan religi. Kita akan berangkat menuju Masjid Seribu Pintu, Museum Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio. Di sini rasa penasaran saya terjawab karena Mbak Donna meminta peserta untuk membawa senter atau alat penerang lainnya. Rupanya digunakan untuk masuk ke dalam suatu lorong yang gelap. Penasaran? Hayukkk atuh kita capcus pemirsa!

Masjid Seribu Pintu

Masjid Seribu Pintu

kami sudah berada di depan Masjid

Saya baru tau kalau ternyata Tangerang itu jauh dari Jakarta. Soalnya setelah melewati dua kali tol (kalau tidak salah) masih belum sampai juga ke tempat tujuan. Teman-teman di bagian depan sudah tidak terdengar suaranya, hanya saya, Mbak Nunik, Salman dan Arie yang masih ramai. Tapi lama-lama saya ngantuk juga, lumayanlah bisa tidur beberapa menit soalnya pas lagi terlelap ternyata sudah dekat ke lokasi yang dituju yaitu Masjid Seribu Pintu.

Kesan pertama memasuki gang dan jalan menuju Masjid Seribu Pintu ternyata tidak sesuai seperti dalam bayangan saya. Saya pikir di sekitar masjid tempatnya asri dan terawat karena biasanya masyarakat cenderung memakmurkan masjid. Ini sebaliknya, jauh dari kesan terawat, bahkan saya sedih melihat kondisi masyarakat yang berada di sekitar jalan menuju masjid. Duhh abaikan saja ya, barangkali ini hanya gejala baper (bawa perasaan) saya, bisa jadi mereka bahagia hehe. Lanjut yuk ceritanya.

Masjid Seribu Pintu

Masjid Seribu Pintu

Masjid Seribu Pintu

Jendelanya banyak banget tetapi gelap

Tak berapa lama kami tiba di Masjid yang menurut cerita memiliki seribu pintu. Kalau Pulau Seribu kan hanya memiliki ratusan pulau tapi dinamakan Pulau Seribu, nah kalau masjid ini benar punya seribu pintu ‘gak ya? Kalau ‘gak percaya coba dihitung aja hehe. Dari penampakan luar sih memang memiliki banyak pintu. Saking banyaknya nih, ruangan bawah yang menjadi tempat registrasi dan tempat tinggal keturunan pendiri masid menjadi gelap. Tanpa lampu, sepertinya bagian bawah akan gelap gulita, dan you know what? Saya kurang terlalu suka dengan kondisi seperti itu. Bukan karena aroma mistis dan sebagainya ya, tapi menurut saya kurang sehat saja kondisi tempat tinggal yang seperti itu karena minim cahaya dan terkesan lembab.

Masjid Seribu Pintu

Masjid Seribu Pintu

Kami dipersilahkan masuk ke bagian dalam sebelah kanan masjid. Di sana, kami diminta untuk melakukan ziarah terhadap pendiri masjid terlebih dahulu. Nah, ini yang kurang kami mengerti, kami ditinggalkan begitu saja oleh sang guide. Saya merasa sedikit ditelantarkan oleh sang guide. Dia hanya meminta kami untuk melakukan ziarah di makam leluhur yang ada di aula tempat mengaji dan shalat tersebut. Lagi-lagi saya kurang nyaman berada di ruangan tersebut, karena jauh dari kesan indah rumah Allah yang selama ini saya tau. Biasanya kalau ibadah itu kita merasa nyaman jika berada di dalam masjid, tapi untuk yang satu ini sepertinya agak kurang nyaman ya.

Masjid Seribu Pintu

Masjid Seribu Pintu

Masjid Seribu Pintu

Aula untuk berziarah

Sang guide sepertinya agak ngambek karena kami tidak melakukan ziarah terlebih dahulu sebelum memasuki Masjid Seribu Pintu. Bukannya kami tidak mau, tapi ekspektasi kami berbeda dengan apa yang diharapkan oleh sang guide. Akhirnya tugas sang guide digantikan oleh seorang yang lebih muda untuk mengantarkan kami memasuki masjid itu.

Mbak Donna, Mbak Shinta, Mbak Rien, Mbak Ratna, terus siapa lagi ya lupa, tidak masuk ke dalam masjid. Saya awalnya agak takut juga, tapi sayang sudah jauh-jauh bawa head lamp tapi kok ‘gak digunakan haha. Iya kami harus menggunakan alat penerang untuk masuk ke dalam lorong masjid yang gelap menyerupai labirint ini. Jika kita masuk tanpa guide dijamin nyasar deh karena semua pintu hampir sama semua.

Masjid Seribu Pintu

Pintu masuk ke seribu pintu

Masjid Seribu Pintu

Gelap kan pemirsa?

Bagian pertama setelah kami masuk terdapat ruangan putih yang terbuat dari keramik di kiri dan kanan lengkap dengan penerangan. Setelah itu kami langsung masuk ke dalam lorong sambil berpegangan satu sama lainnya. Kami sempat menengok dan menerangi lorong yang tidak diterangi, rupanya itu berupa ruangan sempit yang entah digunakan untuk apa. Setelah belok kiri-kanan berkali-kali, kami tiba di sebuah ruangan yang terdapat lampu dan berlapiskan keramik putih. Ternyata ruangan itu bernama ruangan tasbih tempat orang untuk melakukan tasbih yang ditujukan kepada Allah. Kami hanya sebentar di sana dan segera keluar karena sepertinya oksigen kurang memadai jika berlama-lama di sana.

Masjid Seribu Pintu

Begini lho bagian dalamnya

Masjid Seribu Pintu

di dalam lorong menuju Ruang Tasbih

Masjid Seribu Pintu

Mbak Evi berani banget masuk ke sana ke ruang tasbih

Setelah keluar dari sana, saya kemudian bertanya, buat apa sih membangun masjid seperti itu? Kenapa mau bertasbih harus masuk ke lorong gelap itu? Mengapa bangunannya tampak seram jauh dari kesan masjid yang saya ketahui? Mbak Ratna yang mendengar celotehan saya kemudian menjawab bahwa cara orang beribadah memang berbeda-beda. Ada yang bisa beribadah di tempat ramai, ada juga yang suka beribadah di tempat yang jauh dari keramaian.

Tapi pertanyaan saya sedikit terjawab berkat seorang teman yang mengomentari foto yang saya unggah ke media sosial. Menurut teman saya, lorong-lorong sempit dan ruangan kecil dibangun untuk digunakan sebagai tempat merenung bagi mereka yang membutuhkan. Merenung dari apa? Merenung dari segala kegiatan duniawi, jika mau kita dipersilahkan masuk ke dalam ruangan kecil tersebut yang tidak memiliki alas dan gelap. Duduklah di atas tanah dalam ruangan gelap dan sempit tersebut dan sentuhlah tanah itu, maka itulah gambaran tempat peristirahatan kita kelak setelah meninggal.

Saya langsung merinding dan mulai memahami maksud dibuatnya lorong dan ruang sempit tersebut. Mendadak saya tidak berani membayangkan bagaimana jadinya jika saya ditinggal begitu saja pada ruangan gelap, sempit dan bertanah tersebut. Sebaiknya jangan terlalu dibayangkan ya, karena seram juga. Tapi tetap kita harus melakukan refleksi diri terhadap semua hal yang telah kita lakukan di dunia, paling tidak hal itulah yang saya dapat ketika keluar dari Masjid Seribu Pintu.

Masjid Seribu Pintu

Sumber: @Travelerien

Akhirnya rasa penasaran saya terhadap masjid dan juga penggunaan headlamp terbayarkan, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju tempat selanjutnya yaitu Museum Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio.

Museum Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio

Kami tiba sudah sangat sore sekali ketika mengunjungi Museum Benteng Heritage dan Klenteng Boen Tek Bio. Meskipun begitu Mbak Desi yang menjaga museum maih mempersilahkan kami untuk melihat-lihat bagian depan museum.

Di sebelah kanan museum terdapat jejeran beberapa penghargaan yang diperoleh museum ini. Begitu juga pada sisi kiri, terlihat beberapa piagam yang berjejer rapih di dinding. Di dalam ruangan depan terdapat sebuah Barongsai dan juga pernak-pernik berbahasa China yang saya tidak mengerti artinya apa hehe. Silahkan lihat foto-foto saya saja ya.

Museum Benteng Heritage

Museum Benteng Heritage

Museum Benteng Heritage

Mauk ke pintunya

Museum Benteng Heritage

Penghargaan yang diperoleh Museum

Museum Benteng Heritage

sekali-kali yang punya blog nongol yak

Kami tidak terlalu lama di museum karena memang sudah waktunya tutup. Penjelajahan kami kemudian dilanjutkan pada Klenteng Boen Tek Bio yang terletak agak ke dalam sebelah kanan. Di sana terlihat para penganut agama Budha sedang melakukan kegiatan keagamaan dengan menggunakan dupa. Saya diberi tau oleh Mbak Rien kalau kita boleh masuk dan memfoto tetapi dilarang mengabadikan gambar orang yang sedang beribadah. Baiklah menurut ya pemirsa, kita harus menghargai orang beribadah.

Klenteng Boen Tek Bio

Klenteng Boen Tek Bio

Klenteng Boen Tek Bio

Lilin di Klenteng Boen Tek Bio

Klenteng Boen Tek Bio

Klenteng Boen Tek Bio

Kami tidak terlalu lama berada di sini karena hari semakin sore dan kami sudah sangat rindu untuk pulang ke rumah. Ke rumah mana? Ya Grand Zuri BSD yang sudah feels like home banget.

Barbeque Time di Grand Zuri BSD

“horeeeee….” Sontak saja semuanya langsung segar bugar karena mobil yang membawa kami sudah sampai di parkiran Hotel Grand Zuri BSD. Berasa seperti di rumah beneran deh soalnya kami dipersilahkan jika mau mandi. Sayangnya saya ‘gak ada kepikiran untuk membawa peralatan mandi dan baju ganti. Alhasil, minyak wangi yang disemprotkan di sana-sini sukses menutupi bau asem matahari.

Shalat sudah, bersih-bersih juga sudah. Sekarang tinggal waktunya kita BBQ-an hehe. Wuihhhh hidangan telah siap, ada daging sapi, daging ayam, sosis sapi, sosis ayam, sate maranggi serta aneka jenis ikan yang siap untuk dibakar. Sang Chef sudah sangat sigap menawarkan apa saja menu yang ingin kami coba. Hmmm saya langsung request minta dibakarkan dua sosis, dua sate maranggi, daging ayam dan daging sapi. Sambil menunggu BBQ pilihan saya matang, saya makan hidangan dari Cerenti Restaurant dulu. Gile ev habis semua tuh? Habis atuh, kalau ‘gak percaya Tanya aja ke Mbak Ratna dan Mbak Dewi yang duduk barengan saya hehe.

Grand Zuri BSD

Barbequean kita nih

Grand Zuri BSD

Chefnya langsung menyiakan makanan yang saya pesan

Grand Zuri BSD

Ini dia makan malam ku, makyussss

Grand Zuri BSD

Syedaaappp

Baiklah karena waktu sudah semakin malam, kini saatnya yang ditunggu-tunggu yaitu pembagian voucher menginap sebagai hadiah dari Grand Zuri setelah mengikuti blog competition yang diadakan beberapa minggu sebelumnya. Voucher tersebut diberikan kepada 6 orang pemenang, dan saya salah satu yang mendapatkan voucher tersebut Alhamdulillah.

Jakarta Corners

Sumber: @Travelerien

Begitulah cerita one day tour bersama Jakarta Corners dan Grand Zuri BSD. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada JC dan Grand Zuri yang telah membawa anak Bogor yang takut nyasar di Jakarta ini bisa menjelajah Jakarta dan sekitarnya. Ternyata di Jakarta memang banyak space dan tempat wisata yang belum saya ketahui. Makanya itu kalau teman-teman memiliki nasib yang sama seperti saya, mending pantengin aja websitenya Jakarta Corners. Terus nih kalau sudah cape keliling Jakarta dan sekitarnya, menginap saja dulu di Grand Zuri BSD atau Zuri Express. Aseeekkk…

Terimakasih ya teman-teman sudah membaca tulisan saya, semoga nanti bisa ikutan event-event selanjutnya, see yaaa….

Grand Zuri BSD

Terimakasih Jakarta Corners dan Grand Zuri BSD, sumber: @Travelerien

14 Comments

  1. Donna Imelda

    Reply

    Top deh kalau evrina yang nulis, termasuk tentang Pak Arif yang ganteng bin cakep itu.
    Btw, itu toh lorongnya, seyem hahaha. Untung nggak masuk

  2. Donna Imelda

    Reply

    Mbak Evi juga sempat bercerita tentang lorong yg gelap dan sempit itu. Kita bisa berkontemplasi merenungkan diri kita kelak bila sudah disatukan dengan tanah. Selalu ada yg bisa kita ambil pelajaran dalam setiap perjalanan ya ev.

  3. Reply

    Salam kenal mbak 🙂
    Menarik sekali artikelnya. Mesjid seribu pintu, szzrrr ngeliyat foto2nya takjub. Seperti blm selesai atau sdg renovasi or sengaja begitu .. finishing tembok yg tdk finished 🙂

    Haiyaa diobati dg sajian kuliner yg bikin mata nanaaarr ..nampak enak sangat.

    Selamat dpt voucher. cekidot Hotel Zuri Express ..

  4. Anne

    Reply

    Aku pernah mengunjungi klenteng dan benteng heritage museum, tapi belum pernah ke masjid seribu pintu (belum pernah sampai dalamnya). Dari fotonya aja mmg tampak serem. Kalo dalam Bahasa Sunda mah ‘keueung’ gitu.

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *